Festival Kopi Sepuluh Ewu - Menikmati Tradisi Ngopi Masyarakat Suku Osing, Banyuwangi
Ngopi semalaman pada 3 minggu lalu terasa sekali berbeda. Hiruk pikuk keceriaan, suasana dan obrolan hangat rasanya masih terasa hingga saya menulis ini. perbincangan hangat dan senyum ramah dari pemilik rumah dan orang yang ada di sekitar sana, padahal kami baru bertatap muka saat itu. Yah semua terjadi begitu saja di Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Desa Kemiren, Banyuwangi.
Ngopi sepuluh ewu merupakan festival Ngopi tahunan yang diadakan di Desa Kemiren Banyuwangi. Bukan festival Ngopi biasanya yang menunjukan citarasa kopi, teknik pembuatan, teknologi dan lain-lain tapi kepada menjalin persaudaraan. �Sak Corot Dadi Seduluran�, ungkapan setempat yang bermakna dari secangkir kopi yang dinikmati bersama ini akan menumbuhkan persaudaraan. Dari ungkapan tersebut membuat acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini berjargon �Sekali Seduh Kita Bersaudara�
Rute ke Desa KemirenTahun ini saya berangkat untuk melihat festival ini bersama Halim, Pipit dan Andika dan Odie yang sudah berniat dari jauh hari untuk datang ke festival ini. menuju ke desa Kemiren dari kota Banyuwangi mudah sekali. Kalian tinggal lurus ke arah barat saja. Rutenya dari Simpang Lima Kota Banyuwangi Ke Arah Barat � Jl. Jaksa Agung Suprapto � Jln. Hos Cokroaminoto � Melewati Rel Kereta � Pertigaan Patung Barong lurus hingga menemukan gapura masuk desa Kemiren.
Sore itu masyarakat desa Kemiren terlihat sedang menyiapkan meja, dan kursi bahkan ada yang sedang menata cangkir-cangkir kopi khas kemiren dengan motif kembang. Terlihat dari jauh jajanan pasar khas banyuwangi sedang ditata diatas meja seakan akan siap menyambut tamu-tamu penting. Setelah melewati waktu Magrib, perlahan-lahan desa ini mulai didatangi oleh berbagai masyarakat dari penjuru Banyuwangi, bahkan dari luar kota seperti saya dan teman-teman ini :D.
suasana desa kemiren di Festival Kopi 10 Ewu |
mba pipit - andika sibuk moto :D :p |
Kami menelurusi jalan-jalan sepanjang desa kemiren. Meriah sekali suasananya, jika dibandingkan hampir mirip dengan suasana lebaran ketupat di kampung mbah dan di desa-desa. Setiap rumah membukakan pintu bagi siapa saja yang ingin bertamu, pemilik rumah menyambut ramah setiap tamu yang datang ke rumahnya. Awalnya sungkan, karena di Desa Kemiren kami bukanlah siapa-siapa di desa Kemiren, tidak punya saudara, tidak punya kenalan ataupun calon jodoh. Sambut hangat pemilik rumah tetaplah sama. Kopi disajikan dalam cangkir kecil berwarna putih,ber gambar bunga yang khas dan ditutup agar panasnya lebih tahan lama. Cara minum kopi seperti ini merupakan tradisi masyarakat Osing Desa Kemiren yang merupakan suku asli Banyuwangi. Suku ini mempunyai tradisi minum kopi yang sudah ada sejak jaman nenek moyang dahulu. Ada ungkapan nenek moyang dalam bahasa Osing �Welurine Mbah Buyut Kemire Ngombe Kopi Cangkir Tutup�, yang artinya adalah meminum kopi dengan cangkir yang ada tutupnya.
Cangkir kopi motif kembang-kembang yang khas |
percet |
Tidak hanya menghidangkan kopi, pemilik rumah menghidangkan juga jajanan pasar khas masyarakat kemiren. Perhatian saya teralihkan dengan adanya favorit Kucur (Cucur untuk sebutan kue tersebut di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta ke arah barat. Kucur yang dihidangkan di kemiren warnanya coklat agak gelap dikarenakan menggunakan Gula Aren bukan Gula Jawa dari Pohon Kelapa dan penggunaan gula aren itulah yang membuat rasa Kucur agak berbeda dari daerah lain. Kue yang lain yang penampilannya menarik adalah Cenil. Cenil yang ada di Kemiren, Banyuwangi dihidangkan dengan cara yang unik. Biasanya cenil disajikan dalam pincuk daun pisang lalu ditaburi parutan kelapa. Namun Cenil disini dihidangkan dengan hidangan mirip sate. Cenil ditusuk tusukan sate lalu ditaburi parutan kelapa sehingga membuat kesannya berbeda sekali. Makanan lainnya yaitu kue Lepet, Tape Ekor, Ketan Kirip, Klemben, Percek dan lainnya . Percek ini unik, berbahan dasar pisang yang mirip mie berwarna kuning atau kerupuk rujak buah gerobak atau kerupuk yang dijual di warung asinan di bogor atau Jakarta.
hidangan komplit Kopi+Jajanan Pasarnya |
simbah yg membuat kopi |
Setelah lama bertamu, mengobrol ngalor ngidul sambil menikmati kopi dan jajanan pasar khas kemiren. Kami pamit dan kembali menikmati suasana ramai Festival Kopi Sepuluh Ewu di jalan desa Kemiren. Ternyata ada cara pembuatan kopi masyarakat osing yang diperlihatkan. Cara menyangrainya ternyata masih tradisional tidak mengunakan wajan dari aluminium melainkan dari tembikar. Penyangrai ternyata adalah mbah-mbah yang saya taksir usianya sekitar 65-70 tahun bahkan bisa melebihi 70 tahun. Dengan menggunakan wajan tembikar, kopinya mempunyai rasa yang berbeda, terlihat lebih hitam dari sangria biasanya.
Sak Ceret, Dadi Duluran |
Beberapa langkah dari tempat tersebut kami dipersilahkan mampir bertamu kembali. Sama seperti pengalaman kami sebelumnya keramahan selalu menyambut kami, padahal kami bukanlah kenalan mereka, saudara mereka. Sak Ceret, Dadi Seduluran, bukanlah ungkapan belaka, tapi sudah menjadi cara mereka menghormati dan menghargai tamunya sama seperti saudaranya sendiri.
Menikmati Kopi di Festival Ngopi Sepuluh Ewu, bukan tandingan citarasa, teknik pembuatan, maupun Teknologinya namun lebih kepada bagaimana kita menikmati kopi secara bersama-sama.
Datang ya Ke Festival Ngopi Sepuluh Ewu Tahun Depan :)
Komentar
Posting Komentar